Jepang dikenal sebagai kiblat industri game dunia, rumah bagi nama-nama besar seperti Nintendo, Sony, dan Capcom. Namun, ironisnya, Jepang justru tertinggal jauh dalam percaturan esports global. Ada beberapa alasan mendasar mengapa negeri sakura gagal menjadi kekuatan utama di ranah esports, meski punya basis industri game yang sangat kuat. Berikut beberapa faktor yang menjadi Alasan mengapa perkembangan Game Esport gagal di Jepang:
- Regulasi Ketat:
Undang-undang Jepang membatasi hadiah uang tunai dalam turnamen, sehingga menghambat insentif bagi pemain dan penyelenggara esports. Pelonggaran baru terjadi sejak 2018, tapi sudah terlambat.
- Budaya Gaming Berbeda:
Gamer Jepang lebih suka game single-player dan fighting game, bukan game tim seperti MOBA atau FPS yang mendominasi esports global.
- Developer Lambat Adaptasi:
Perusahaan game Jepang kurang agresif mengembangkan fitur pendukung esports, seperti spectator mode, yang penting untuk turnamen.
- Tantangan Hukum dan Lisensi:
Regulasi hak cipta dan perlindungan pemain belum sepenuhnya mendukung perkembangan esports secara optimal.
- Minim Tim Esports Internasional:
Jepang jarang tampil di turnamen esports besar, berbeda dengan Korea Selatan dan Tiongkok yang menjadi kekuatan utama.
Dengan segala keunggulan infrastruktur dan industri game, Jepang seharusnya bisa menjadi raksasa esports. Namun, kombinasi regulasi ketat, budaya gaming yang unik, serta lambatnya adaptasi developer dan pemerintah membuat Jepang harus puas sebagai negara game, bukan negara esports.






