Belakangan ini produk-produk handheld gaming berbasis Android bermunculan dengan harga beragam. Menawarkan bukan hanya kemampuan menjalankan game Android, tapi juga emulation berbasis software dari berbagai tipe konsol klasik sehingga membuatnya terlihat seperti sebuah konsol retro.
Di sisi lain, produk-produk gaming retro dengan pendekatan berbeda pun masih hadir di pasaran. Berbeda dengan konsep emulation menggunakan software seperti yang dilakukan oleh perangkat konsol handheld retro Android, mereka merupakan perangkat FPGA, singkatan dari Field Programmable Gate Array. Di mana mereka menciptakan chipset yang berjalan menyerupai konsol asli yang diemulasi.
Perbedaan Mendasar, Hardware vs Software
FPGA itu kayak mesin ajaib di dunia retro gaming. Intinya, chip FPGA bisa diprogram supaya perilaku hardwarenya mirip banget sama konsol orisinal. Jadi, main di FPGA rasanya kayak main di mesin asli, lengkap dengan segala kekonyolan bug, timing, atau glitch unik, bahkan bisa menyediakan slot untu memainkan game pakai kaset (cartridge) fisik aslinya!
Beberapa perangkat yang menggunakan jalan ninja ini di antaranya adalah, Analogue Pocket (buat Game Boy/GB Color/GBA), MiSTer FPGA (multi-konsol: NES, SNES, Sega Genesis, dsb), Modretro Chromatic (khusus Game Boy Color) dan paling baru ada the Game Bub (GBA).
Sementara perangkat dengan emulasi berbasis software biasanya hadir di perangkat dengan sistem operasi tertentu sebagai basisnya. Yang paling dasar ada perangkat dengan OS Linux, Windows, Android dan OS lain yang memungkinkan sebuah software emulator berjalan dengan baik.
Perangkat yang dibangun di atas Raspberry Pi misalnya, semisal Raspberry Pi RetroPie, atau handheld populer semisal Anbernic/Miyoo/Powkiddy handheld, Retroid Pocket, bahkan yang awalnya dibuat sebagai PC Gaming portable layaknya Steam Deck, bisa menjadi perangkat retro untuk menjalankan banyak game retro berbasis software.
Meskipun dianggap imba, karena bisa menjalankan hampir semua game dari perangkat berbeda tanpa terbatas, perangkat seperti ini juga kerap dianggap ribet. Karena melibatkan sebuah software emulator, dan ketersediaan ROM yang masih abu-abu, juga pengaturan yang membutuhkan keterampilan lebih dari sekedar menjalankan sebuah konsol.
Kelebihan dan Kekurangan
Perangkat Retro Gaming FPGA cenderung sudah siap digunakan. Memudahkan pengguna awam yang pengen ngerasain konsol game lawas dengan tampilan baru. Kamu hanya perlu meletakkan game di folder yang disediakan, atau mencolokkan cartridge di tempatnya. Semudah itu.
Selain itu akurasi pengemulsian game retro di perangkat ini akan tinggi, hampir mendekatai sempurna, sama seperti perangkat aslinya. Semua nuansa orisinal, baik suara, gambar, maupun kontrolnya benar-benar sama kayak hardware dulu. Termasuk bisa pakai cartridge fisik zaman dulu, jadi nostalgia makin lengkap.
Hampir tidak ada input lag, cocok buat hardcore gamer dan terakhir di FPGA modern juga sudah tersedia HDMI output, jadi gampang colok ke TV zaman now.
Sebaliknya untuk perangkat berbasis emulasi software, bisa sangat fleksibel banget, karena satu alat bisa main game dari banyak konsol lawas, semisal SNES, NES, PS1, Sega, DS, dan lain-lain.
Harga ramah di kantong, dan lebih banyak pilihan yang berkualitas dan gampang dicari. Lalu fitur ekstra juga melimpah, semisal save state, cheat, filter grafis, hingga fast-forward.
Jadi…
Singkatnya, kalau memang pengen nostalgia hardcore, yang benar-benar “rasanya harus sama kayak dulu”, FPGA itu jawabannya, walau harus siap modal lebih. Kalau tujuan sekadar main banyak game retro di mana-mana, pingin fitur modern yang gampang dipakai, jelas emulator software lebih praktis dan hemat.
Intinya, dua-duanya punya keunikan masing-masing. Buat kolektor sejati dan gamer nostalgia yang nggak mau kompromi, FPGA jadi pilihan utama. Tapi buat yang suka hal praktis dan murah, emulasi software sudah lebih dari cukup buat seru-seruan bareng teman atau nostalgia dadakan di rumah.






